Minggu, 20 Januari 2019

Catatan Konflik Harimau Jawa dengan Manusia


Setelah membaca artikel "The impact of the Krakatoa eruption in 1883 on the population of Rhinoceros sondaicus in Ujung Kulon, with details of rhino observations from 1857 to 1949" oleh Nico van Strien (1 April 1946 – 7 February 2008), saya mendapati beberapa catatan berkaitan dengan harimau jawa :

.....On 19 January 1752, the Swedish chaplain and amateur naturalist Pehr Osbeck (1723-1805), who attended lectures by Linnaeus in Uppsala, anchored in Meeuwenbaai (Mew Bay, West Java) on his return from China.  He recorded that it was hazardous to reach the shore due to the abundance of corals. Walking from the beach inland, he found the forest very thick, wet, and dangerous due to the abundance of tigers and other carnivores (Osbeck 1765: 352-353).....

Terjemahan : Dari catatan seorang naturalis swedia pada tahun 1752, bahwa sangat berbahaya untuk mencapai pantai (ujungkulon) karena banyaknya karang. Saat berjalan dari pantai dia mendapati hutan yang sangat lebat, lembab dan berbahaya karena banyaknya harimau dan karnivora lainnya.

Tidak diragukan lagi masa itu harimau jawa masih sangat melimpah. Namun ternyata saking melimpahnya, pernah ada masa dimana terjadi wabah harimau :

.....About 20 years later, Veth (1875: 247) stated that Rumah Tigah in the bay behind Pulau Peutjang was then the only settlement in Ujung Kulon.  According to Kal (1910: 139), the village of Djoengkoelon (Djungkulon) opposite Meeuweneiland, with about 40 houses, had been devastated during the eruption, but people had returned there afterwards, only to leave permanently due to a plague of tigers.  Similarly, Halewijn (1933) mentioned that the village of some 500 people which existed near the mouth of the Tji Boenar (Tji Bunar) had been abandoned in 1906 due to a plague of tigers.....

Beberapa catatan Belanda menyatakan di ujung kulon memang pernah terjadi wabah harimau pada sekitar awal 1900-an. Yang dimaksud wabah harimau disini adalah konflik antara manusia dangan harimau jawa. Apakah konflik harimau jawa dengan manusia hanya terjadi di banten/jawa barat? Ternyata tidak berdasarkan informasi dari buku 'Frontiers of Fear - Tigers and People in the Malay World, 1600-1950'. (2001) oleh Prof. Peter Boomgaard, sejarawan terkemuka tentang Indonesia dan mantan direktur KITLV (Institut Kerajaan untuk Bahasa, Tanah dan Etnologi / Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Asia Tenggara dan Karibia). Dia juga pernah menjadi Profesor Emeritus Sejarah Lingkungan dan Sejarah Ekonomi Asia Tenggara, khususnya Indonesia, di Universitas Amsterdam.

Buku ini bercerita tentang hubungan antara manusia dengan harimau di daerah melayu (malaysia, sumatera, jawa dan bali) dalam kurun waktu 1600-1950. Butuh waktu lebih dari 10 tahun buat Boomgaard untuk menyelesaikan buku ini. Saking banyaknya sumber kutipan, sampai diperlukan 25 halaman hanya untuk kutipan saja.

Dari buku Boomgaard diceritakan bahwa saat pertama belanda datang ke jawa, harimau jawa ada dimana mana. Mereka merupakan salah satu masalah bagi belanda dan orang-orang pribumi yang sedang mambangun Batavia tahun 1619. VOC kemudian membentuk tim pemburu harimau untuk mengatasi masalah ini. Tahun 1624 harimau membunuh sekitar 60 orang di Batavia saja. Sejak 1644, VOC memberikan hadiah bagi mereka yang berhasil membunuh harimau ataupun macan tutul. Pada tahun 1659 Sekelompok pemotong kayu asal semenanjung melayu (malaysia) yang bekerja di Karawang memutuskan kembali ke Batavia karena kehilangan 14 orang oleh harimau dalam masa hanya 2 bulan saja, meskipun di Batavia sendiri juga masih mengalami konflik ini. Tahun 1670 harimau dan macan tutul masih sering ditangkap disekitar batavia setiap hari. Satu abad kemudian, tepatnya tahun 1748 masih terdapat sekitar 80 (harimau dan macan tutul) dibunuh disekitar batavia. .  

Selain jakarta (batavia), konflik juga terjadi di bagian lain pulau jawa. Tahun 1820 sekitar 500an orang meninggal dimangsa harimau se pulau jawa dan pada tahun 1850 menurun menjadi 200an. Penurunan ini karena akibat perburuan,  jumlah harimau mulai menurun, jumlah manusia meningkat dan mulai berkurangnya wilayah hutan. Tahun 1855 terdapat 147 orang terbunuh oleh harimau di Pariangan (Bandung). 2 kali lebih tinggi dari rata2 tahunan se pulau jawa waktu itu. Alasanya mengarah karena bencana kekeringan. Dan ternyata ada hubungan antara bencana dengan peningkatan jumlah serangan harimau kepada manusia. Letusan krakatau 1883 banyak meninggalkan jenazah korban manusia yang tidak terkubur yang pada akhirnya dimakan harimau. Saat “persediaan jenazah” sudah habis, harimau mulai berkonflik dengan manusia. Kembali ke Pariangan, data menunjukkan pada 1875-1880, terjadi bencana lagi yaitu gagal panen dan kemungkinan banyak terdapat korban meninggal akibat kelaparan,  setelahnya terjadi peningkatan jumlah konflik dg harimau. Selain Batavia dan Pariangan, derah lain yang disebutkan kerap mengalami konflik adalah Banten, Karawang, Cirebon, Jepara, beberapa daerah di Jawa tengah, Pasuruan, Probolinggo and Besuki/Banyuwangi.

Boomgaard menyimpulkan bahwa Sumatera dan Jawa merupakan tempat yang jauh lebih berbahaya dari india karena mencetak skor  yang lebih tinggi dari india mengenai konflik harimau-manusia dengan mempertimbangkan faktor rasio jumlah penduduk serta luas wilayah pada tahun 1800 (abad 19).

" ... In Java (1870), with a population density ... comparable to that of the British part of India in 1890 and with a much higher rate of population growth, there was a notable shift in the relationship between humans and big cats. Its position c. 1870 in all respects surpassed that of India by an appreciable margin. Java had a higher number of deaths by tigers per unit of land and population, higher rations between tigers killed and people killed ..., and higher hunting pressure  per unit of land and population. At the end of the century it had moved to a situation in which it scored lower than India ... " (Boomgaard, 2001, pp. 78)

Namun pada awal abad 20, skor nya kemudian menjadi lebih rendah dari india. Alasan utamanya adalah jumlah harimau yang menurun drastis. Dengan kata lain sejak 1900, "perang" antara harimau dan manusia di jawa sudah hampir usai dan bisa disimpulkan pemenangnya, manusia. Dikatakan hampir usai karena catatan menyebutkan bahwa masih terjadi konflik sporadis. “Hama harimau” terakhir terjadi tahun 1946 di banyuwangi ketika 64 orang meninggal oleh harimau selama periode 10 bulan. Tidak diketahui alasannya namun kemungkinan karena banyak korban perang pada awal kemerdekaan indonesia.

Apakah ini artinya Harimau jawa adalah pemakan manusia? Tentu tidak, banyak faktor yang mempengaruhi. Sama dengan kasus harimau bengal memangsa manusia, kita tidak bisa manganggap semua harimau bengal pemangsa manusia karena masih banyak harimau bengal yang normal.

Pada umumnya di Jawa, daerah yang terdampak konflik adalah daerah hutan yang mulai dibuka untuk ditanami atau ditinggali, daerah yang menjadi gesekan antara manusia dengan fauna liar, sedangkan daerah pelosok atau pedesaan dimana masih banyak mangsa alami untuk harimau tidak terjadi konflik ini. Kearifan lokal sering menyebut harimau jawa dengan sebutan “mbah” atau kakek/yang di tuakan/yang di hormati. Mereka menyatakan jika tidak sengaja bertemu, mereka tidak akan mengganggu dan akan pergi menghindar. 



di bawah ini beberapa foto pemburu dan harimau jawa tahun1900an keatas.


1.Malimping in Banten, 1941. Harja Betina dewasa

2.Garut 1920. Harja jantan dewasa


3. Besuki 1957. Harja jantan dewasa


4. kemungkinan harimau jawa, foto dari sebuah forum luar negeri, tempat dan lokasi tidak diketahui. ada yang bisa membantu?

5. Glenmore Banyuwangi 1940. Harja Betina dewasa


6.Cikepu Banten, tahun tidak diketahui. Harja jantan muda


7. Besuki 1934. Harja betina dewasa. 
ternyata masih terdapat buaya di Besuki masa itu, dari lokasi yang ada dipantai kemungkinan adalah jenis buaya air asin (saltwater crocodile)

Apakah anda punya cerita sendiri tentang kisah-kisah harimau jawa, cerita dari kakek nenek mungkin? Silahkan tinggalkan komentar dibawah

Selasa, 15 Januari 2019

Cerita dibalik foto bersejarah


Anda tahu Hoogerwerf? Dia adalah fotografer harimau jawa ujungkulon yang sangat terkenal itu. Andries Hoogerwerf (1906-1977) pada 1931 sampai 1937 bekerja di Kebun Raya Bogor sebagai kepala departemen perburuan dan perlindungan alam (the Department for Hunting and Nature Conservation). Kemudian sejak 1937 dia dipercaya oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memegang pimpinan dalam hal konservasi alam di wilayah Hindia Belanda.

Dia sempat menulis sebuah artikel (dalam bahasa Belanda tentunya) tentang ujungkulon dan harimau jawa. Beruntunglah seorang teman baik saya, poster dalam sebuah forum, yang juga orang Belanda berbaik hati menerjemahkannya dalam bahasa inggris. Kira kira terjemahannya kurang lebih seperti ini :

Buku kecil (Buklet) ini merupakan cetak ulang dari sebuah artikel yang diterbitkan dalam 'De Tropische Natuur', tahun 28, Vol. 1 (Majalah tentang alam dan satwa liar di daerah tropis oleh 'Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming' ('Organisasi Hindia Belanda untuk Perlindungan Alam') pada tahun 1939 di Buitenzorg (Bogor) yang ditulis oleh Hoogerwerf.


SUAKA MARGA SATWA UJUNGKULON


Artikel ini diterbitkan pada periode di mana konservasi menjadi topik hangat baik di India maupun Indonesia (hindia belanda). Alasannya adalah karena banyak yang mulai mengerti bahwa semua yang mereka (orang eropa dan belanda di indonesia) anggap 'normal' mulai menghilang dengan cepat tepat di depan mata mereka. khususnya berlaku untuk Jawa dan harimau Jawa. Suaka Margasatwa Udjung-Kulon, dekat dengan laut, adalah salah satu produk dari kesadaran ini. Dalam artikelnya, Hoogerwerf, menulis empat pertemuan dengan harimau jawa di Suaka Margasatwa Udjung-Kulon.

Pertemuan Pertama :
Seekor harimau yang dilihatnya mandi di 'kali' (sungai) pada tahun 1937 di siang hari bolong. Pada saat harimau menyadari kehadiran Hoogerwerf, seketika dia balik ke hutan dengan tergesa-gesa.


Pertemuan Kedua :
3 Mei 1938
  
Pada hari itu, Hoogerwerf keluar ke hutan untuk mengamati banteng. Dalam perjalanannya ke tempat persembunyian (di atas pohon), ia dan beberapa 'kuli' (pelacak asli pribumi yang bekerja di suaka marga satwa ujungkulon) tertarik ke sebuah semak semak  yang cukup dekat dengan laut. Alasannya adalah aroma bangkai menyengat. Disitu, mereka menemukan sisa-sisa (tulang, bagian dari tengkorak dan beberapa potongan kulit) seekor harimau (jantan).

Bagian atas tengkorak (mereka tidak menemukan mandibula-nya) mengindikasikan dia harimau jantan yang sangat tua. Tengkoraknya sekarang disimpan di Museum Sejarah Alam Alam (the Natural Natural History Museum) di Leiden. Sampai sekarang itu adalah tengkorak Harimau Jawa terbesar dengan ukuran 34,8 x 24,6 cm. Dibawah ini foto taring harimau tua tersebut




sebagai perbandingan, tengkorak terbesar kedua juga merupakan tengkorak harimau jawa jantan liar dewasa berukuran jauh lebih kecil (30,55 x 20,39 cm)dengan diameter taring kiri 3,2 cm tepat di garis gusi.

Sayang sekali Hoogerwerf, pada 3 Mei 1938, tidak memiliki kamera. Sekitar pukul setengah dua sore, kawanan banteng mulai bersuara dan bergerak ke arah semak belukar di dekatnya. Beberapa detik kemudian, seekor harimau muncul dan berjalan menuju pohon tempat Hoogerwerf bersembunyi. Dia minum, duduk sebentar dan kemudian perlahan-lahan berjalan pergi masuk ke hutan, benar-benar tidak meperdulikan kawanan banteng. Hoogerwerf mencatat bahwa setelahnya tidak ada seekor binatang lain pun yang berani menyeberangi bekas jalan harimau sore itu lagi.
Hoogerwerf memperhatikan bahwa warna dasar harimau tampak jauh lebih gelap daripada warna dasar kulit harimau jawa lain yang pernah yang dilihatnya. Dia menduga itu akibat dari cuaca dan lingkungan lembab tempat harimau hidup.

Pertemuan Ketiga :
28 Oktober 1938

Hoogerwerf sedang berada di pohonnya jam 8 pagi. Tepat sebelum tengah hari pada hari pertama, seekor harimau muncul dan langsung menuju ke kali. Hanya berjarak kurang dari 30 kaki (10 meter) dari Hoogerwerf, harimau itu minum di satu-satunya tempat yang teduh tanpa menyadari kehadirannya. Kali ini, Hoogerwerf membawa kameranya. Tanpa dia sadari. foto-foto yang dibuatnya kelak akan menjadi sangat terkenal dan bersejarah karena merupakan satu-satunya foto harimau jawa jantan dewasa liar yang masih hidup yang pernah ada.
Hoogerwerf terkagum-kagum dengan besarnya ukuran lengan/kaki depan dan tapak kakinya. Ketika harimau sudah merasa cukup, dia duduk sebentar dan kemudian perlahan kembali ke hutan.
Beberapa saat kemudian, Hoogerwerf mengukur jejak yang ditinggalkan harimau. Lebar kaki depan adalah 15,5 cm x 9 cm. Inilah foto-foto bersejarah itu. 

"... dia menuju ke tepian air dan minum banyak dan lama ..." (hlm. 6):   



“Dia berjalan kembali ke hutan (melalui jalan hutan) dibawah panas terik matahari ..." (hlm. 7):


Pertemuan Keempat :
30 Oktober 1938

Dua hari kemudian di hutan yang sama, Hoogerwerf, sekitar pukul 11 ​​pagi, memanjat pohon lain yang terletak di dekat sebuah kali. Kali ini, ia bermaksud untuk tinggal selama dua hari satu malam. Tidak lama setelah dia memanjat pohon, dia melihat tiga banteng dewasa, seekor banteng jantan muda berumur satu tahun dan seekor anakan yang masih kecil merumput di dekat kali mulai mendengus. Mereka mengawasi  semak kecil dekat kali. Beberapa saat kemudian harimau betina berukuran sedang menampakkan diri dari semak-semak itu. Kemudian dia langsung menuju hutan. Hoogerwerf lagi-lagi memperhatikan bahwa binatang-binatang lain (dengan penciumannya) tidak mau menyeberangi  jalan yang telah dilewati harimau betina dan oleh karena itu tidak mau pergi ke arah Kali.

Setelah jam 6 sore, harimau betina itu kembali (ke semak-semak). Dia baru ketahuan oleh kawanan banteng dan sekelompok 7 rusa ketika hanya berjarak sekitar 100 meter. Kawanan Banteng dan rusa tidak pergi, tetapi berkelompok dan berkonsentrasi memperhatikan semak yang sama yang sebelumnya ditinggalkan harimau betina itu pada siang hari. Ketika kawanan banteng, yang melindungi anak-anak mereka, mulai mendekati semak-semak (dimana harimau berada), harimau betina mulai mengincar rusa. Sekitar 50 meter dari rusa, dia tiba-tiba bangkit (membatalkan buruannya) menampakkan diri dan berjalan lurus ke arah kawanan banteng yang mendekatinya. Dengan sangat santai, dia melewati kawanan banteng dengan jarak sekitar 15 kaki (5 meter) dan kemudian menuju kali, sangat dekat dengan pohon Hoogerwerf. Karena merasa dia diawasi dengan sangat ketat oleh kawanan banteng dan rusa, akhirnya dia memutuskan untuk menghilang masuk ke dalam hutan.

Namun malam itu, harimau betina itu kembali dan mulai mengaum. Setiap auman langsung diikuti (direspon) oleh kawanan banteng yang juga melenguh/bersuara bersahutan. Hoogerwerf mengira harimau betina itu mulai bereaksi terhadap kawanan banteng. kemungkinan harimau betina itu, mulai merasa terganggu oleh kawanan banteng dan kemudian kehilangan kesabaran.
  
Banteng jantan dewasa yang diserang oleh harimau

Sedangkan Banteng ini, Jantan dewasa yang ditembak di ujungkulon. Setelah tertembak, seorang dokter hewan dipanggil dan dia menemukan bahwa banteng itu ternyata telah terluka parah oleh harimau sebelumnya. Sang dokter menyimpulkan luka banteng tersebut sangat buruk sehingga dia akan mati pada akhirnya meskipun tidak tertembak peluru. Mungkin  karena sangat menderita oleh luka dari serangan harimau tersebut banteng itu berperilaku tidak wajar yang pada akhirnya dia tertembak oleh peluru pemburu.

Demikian sekilas terjemahan dari tulisan Hoogerwerf sendiri. Mulai sekarang saat anda melihat foto harimau jantan ujungkulon tersebut miminal anda dapat membayangkan cerita dan suasana ujungkulon di tahun 1930an tersebut.  

sayang sekali kita hanya bisa membayangkan karena sampai saat ini tidak ada film/video yang pernah merekamnya. Saya mencoba memberi sentuhan warna pada foto bersejarah tersebut, hasilnya kira-kira seperti ini.

Nb : setelah membaca tulisan Hoogerwers diatas barulah saya menyadari seharusnya saya memberi warna yang lebih gelap untuk warna dasarnya.